Saturday 23 March 2013

Aku Calon Perajut Kata

Aku Calon Perajut Kata
Cerpen Oleh : Nasrul Hadi , 22 Maret 2013

Saya datang dengan semangat berguncang, tersimpan berjuta harapan setelah mengikuti pelatihan ini. Pelatihan jurnalistik namanya, ntah agenda rutin HMI Fakulatas Adab ataupun bukan, saya dan kawan dikumpulkan dalam sebuah acara.
Berawal setelah aku terima pesan singkat yang masuk kedalam memori telepon genggamku. Tertulis sebuah kata instruksi “silahkan datang ke secretariat KAHMI hari Rabu malam ada pelatihan Jurnalistik”. Aku tahu di KAHMI banyak mereka yang senerioritas dan kanda-kanda di organisasi hijau hitam. Dalam benakku terpikir “wah, keren pelatihan yang aku harap-harapkan ternyata akan segera dilaksanakan, dan aku diundang?” hatiku gembira, senyum manis juga terasa dibibir manis ini.
Hari rabu  sore sehabis Ashar, aku tak sempat menikamati sunset yang biasa setia ku tunggu dipantai yang berjarak 6 KM dari pusat kota Banda Aceh, yaitu pantai Ulee Lheu. Sore itu aku persiapkan diri atas apa yang mereka instruksikan. Mereka memang menyuruh untuk segera melengakpi perlengkapan sendiri seperti sabun mandi dan banyak lagi persiapan lainnya. Tapi dalam pikiranku mental yang harus aku persiapkan. Semangat yang bagaikan semangat juang empat lima tak boleh padam. Ini harapanku jauh-jauh hari, ini keinginanku dari dulu, aku ingin menjadi seorang penulis handal . Toh ada kesempatan belajar yang malah digratiskan, janganlah ku sia-siakan.
Namun pikiran lain juga sempat memngahampiri kepala. Aku tujuan merantau ke kuta raja ini untuk Kuliah. Bila ku ikuti acara ini aku terpaksa libur dari dari capainku menuntut ilmu di perguruann tinggi jantong rakyat aceh .Apalagi acara ini selama 4 hari lamanya, juga ada quis.
Disela-sela persiapanku menuju ke kantor KAHMI yang terletak tak berjauhan dari Hotel Hermes, sempat dilema merasuki benak pikiranku. Aku galu ketika itu, sedangkan keputusan harus segera aku putuskan. “ikut atau tidak iut atau tidak” kataku dengan ucapan dalam kebingungan sambil tanganku memegang kepalaku.
Kuliah itu penting, dan pelatihan jurnalistikini juga penting. Aku tak bisa kuliah, bisa saja belajar sama kerabatku besok. Tapi pelatihan iini kesempatan besar bagiku. Mereka penulis handal bakal mengisi acara ini.
Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti acara yang dilaksankan HMI komisariat fakultas Adab. Seusai shalat magrib dirumah dan kemudian aku beli makan. Ketika mnikmati makan malam itu sempat terpikir quis yang akan diadakan besok. Kemudian, Aku hiraukan pikiran ini karena kutelah kuputuskan apa yang akan ku lakukan
Kustarkan motor bebekku, aku kendrai menuju tempat yang aku tuju. Dalam banyak harapan dalam perjalananku. Langit yang masih meninggalkan kemerahannya angin malam sedikitnya telah kurasa, aku gegaskan selruh jiwa menuju kantor alumni aktifis HMI itu.
Sesampai ku disana Sebuah spanduk terpampang di atas pintu masuk sekreatriat itu. “Satu pena untuk Perubahan “ tertulis menjdi tema di acara itu. Sejumlah harapan dan cita-cita harus bisa kuwujudkan usai mengikuti acara ini pikirku. Banyak ternyata yang juga yang mengikuti acara ini. Kawan baru bisa kukenal, mereka hadir dari berbagai jurusan.
Pembukaan acara juga segera dibuka, panitia sudah bersiap-siap. Kami duduk manis didepan mereka yang hadir, yaitu mereka para ahli dalam menulis. Acara pun dibuka oleh said Munir, sosok alumni HMI yang juga berjiwa penulis.
Seusai acara pembukaan. Kewenangan dan kesempatan diberikan kepada Ampuh devayan. Kaliah tauhu siapa dia? Dia yang telah menulisa ratusan karya, dia penulis puisi, dia penulis opini, dia cerpenis. Bagi sebagian orang namanya tak asaing lagi. Nama ampuh Devayan sering terpampang dikoran local maupun nasional.
Harapanku untuk menjadi cerpenis, penulis puisi, juga penulis opini semakin memara. Dalam kesynyian malam hanya kata dan motivasi Kanda Ampuh yang terdengar ditelinga saya dan kawan-kawan. Ampuh memang memiliki cara ampuh untuk memotivasi kami pikirku.
Di atas kursi roda dia memaparkan apa saja kiat menulis. “menulis itu seperti air” kata putra  Simeulue Ampuh Devayan. Semangat dia menjadikan anak didiknya semakin malam semakin terasa. Tak peduli rasa sakit yang dia rasakan dengan rokok yang tak lepas dari mulutnya. Dia terus mengukir kami menjadi perajut kata.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites