Begitu pula dengan saya yang take off dari Bandara Polonia Medan bersama orang tua saya menuju Bandara Internasional Pulau Penang baru-baru ini.
Tujuan saya ke Penang memang untuk checkup dan berobat. Dengan menggunakan taksi yang saya tumpangi bersama orang tua, dari bandara kami langsung diantar ke tempat tujuan, yaitu Rumah Sakit Lam Wah Ee, Pulau Penang.
Selesai berobat pada hari pertama, kami baca papan iklan yang menginformasikan ada tempat penginapan dan restoran milik orang Aceh, tepatnya di depan pagar rumah sakit tersebut. Kami pun langsung menelepon nomor kontak yang tertera di papan iklan tersebut. Tak lama kemudian sang pemilik tempat penginapan itu pun menjemput kami dan diantar ke tempat penginapan yang kami inginkan. Tidak kami sangka sebelumnya bahwa tempat tersebut didominasi oleh masyarakat Aceh. Berbagai macam tujuan mereka ke Pulau Penang, mulai dari berobat, liburan, menempuh pendidikan, di samping ada juga yang memang sudah lama tinggal dan bekerja di sini.
Sesampai di tempat ini suasananya sungguh seperti di Aceh. Bagaimana tidak, bahasa yang digunakan, pakaian yang dikenakan, bahkan bahan omongannya pun persis seperti suasana di warung-warung kopi Aceh.
Banyak orang yang sudah kami kenal sebelumnya berjumpa di sini, begitu juga dengan kawan-kawan yang baru kami kenal di tempat ini. Cang panah (ngobrol-ngobrol santai) terus berlangsung antarsesama kami di restoran yang menyajikan makanan khas Aceh tersebut.
Bicara soal menu, sejauh yang saya amati di rak alumunium tersebut, dominan disajikan masakan khass Aceh. Mulai dari kuah lumak, masakan udang ala Aceh, sampai cendol pun ada.
Saat magrib tiba, kami pun menuju surau yang terletak tak jauh dari tempat penginapan dan restoran tadi untuk menunaikan shalat Magrib. Banyak jamaahnya dari kalangan perempuan. Usai shalat Magrib kami pun menunggu Isya. Seusai shalat, kami kembali ke tempat penginapan. Di sini kami kembali terlibat cang panah. Kebersamaan dan kekompakan sesama Aceh perantau semakin terasa. Apalagi perbincangannya menggunakan bahasa Aceh. Ini sangat mengesankan bagi saya, karena seolah kami sedang berada di Tanah Rencong.
Di Pulau Penang sendiri, penduduk aslinya mayoritas berbahasa Melayu atau Inggris. Tiba-tiba di banyak pojok terdengar kumpulan orang-orang yang berbahasa Aceh. Ini yang saya nilai unik sekaligus menarik, terutama karena saya datang dari komunitas yang sama.
Usai perbincangan panjang, kami pun beristrahat. Hal-hal seperti ini terus berulang selama dalam satu minggu ini saya di Penang. Saya juga mendapat info bahwa pada Ramadhan lalu, menjelang tengah malam, sebelum tidur, komunitas Aceh di sana biasanya menuju restoran atau warung untuk membeli bekal sahur. Soalnya, pada saat sahur, warung dan restoran tersebut tidak buka. Begitu kompaknya mereka, untuk bekal sahur pun dibeli bareng-bareng. Tak jarang pula sepanjang puasa lalu mereka buka puasa bareng.
Kemudian saat Lebaran tiba, silaturahmi antarperantau Aceh di Penang dan di Malaysia umumnya, semakin kuat dan kompak. Melihat realitas itu, sebagai bagian dari Aceh, saya ikut bangga. Maunya, kita yang di Aceh seperti mereka juga, kompak dan rukun.
0 comments:
Post a Comment