KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbil’alamin,
banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala
puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat,
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”Akuntansi Karbon”.
Terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Rudy Fachruddin SE, M.Si.Ak selaku
dosen mata kuliah Akuntansi Manajemen yang telah memberi banyak ilmu dan
wawasan kepada saya tentang akuntansi manajemen juga tentang akuntansi karbon.
Berkat ilmu dan informasi yang disampaikan bapak Rudy penulis bisa menulis
makalah ini.
Meskipun
penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan,
namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun agar makalah kedepan lebih baik lagi.
Akhir
kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Banda Aceh, 22 Juni 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ 1
DAFTAR ISI.............................................................................................................. 2
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................................... 4
11. Latar
Belakang..................................................................................................... 4
1.2 Rumusan
Masalah............................................................................................... 4
1.3 Tujuan.................................................................................................................. 5
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................................ 6
2.1 Pengertian............................................................................................................ 6
2.2 Protocol
Kyoto..................................................................................................... 6
2.2.1 Carbonomics..................................................................................................... 8
2.2.2 Kendali
Karbon Akuntansi dan Protocol Kyoto : A System-Analitical View..8
2.3 Carbonaccounting
(juga Paradigma) dan Faktor-faktor Strategis Akuntansi Manajemen..... 10
2.3.1 Paradigma
Carbonaccounting dan standar akuntansi karbon ......................... 11
2.3.2 Paradigma
Carbonaccounting & Sistem Kontrol Manajemen ....................... 11
2.3.3 Paradigma
Carbonaccounting & Manajemen Produksi................................... 11
2.3.4 Paradigma
Carbonaccounting, Coperate Fovernace & Strategi Audit............ 12
2.3.5 Kaitannya
dengan Manajemen Produksi.......................................................... 13
2.3.6 Kaitan
Global Warming dengan Carbon Akuntansi........................................ 14
2.3.7
Keterbatasan & Implikasi Penelitian di Masa Datang..................................... 14
2.3.8 Tindak
Lanjut diperlukan untuk Memfasilitasi Karbon Akuntansi................ 15
2.4 Peran Akuntansi
Karbon...................................................................................... 16
2.4.1 Karbon
Akuntansi untuk Penelaahan Hutan dan Produk Kayu ...................... 16
2.4.2 Akuntansi
Hutan Pada Skala Operasional ....................................................... 17
2.4.3 Istilah
‘Negosiator Kanada’ Mengacu Pada Wakil Terpilih dari Kanada....... 17
2.4.4 Mendapatkan
Grassland Faktor Manajemen Akuntansi Karbon..................... 18
2.4.5 Mengacu
pada Penggunaan Lahan, Perubahan Penggunaan dan Kehutanan.. 18
2.5 Konsep
Akuntansi Karbon Penuh (FCA) ........................................................... 19
2.5.1 Dasar
Fisik ....................................................................................................... 19
2.5.2 Latar
Belakang Ilmiah Kendali Karbon Akuntansi (FCA).............................. 20
2.6 Tinjauan
Sistem Karbon...................................................................................... 20
BAB III PENUTUP.................................................................................................... 22
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 22
3.2 Saran.................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 23
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akuntansi karbon pada dasarnya perlu
diketahui oleh para mahasiswa, terutama mahasiswa jurusan akuntansi. Karena
sekarang ini sangat sedikit ada orang yang memaparkan dan menuliskan menegenai
apa itu akuntansi karbon, apa saja yang ada di dalamnya serta pentingnya
memepelajari akuntansi karbon.
Melihat kondisi sekarang ini sangat
banyak industri maupun perusahaan yang system operasional mereka menghasilkan
limbah di Indonesia. Maka di era globalisasi ini industry-industri tersebut
harus bekerja dengan baik dan menjaga keeksistensi mereka. Termasuk menerapkan
akuntan skarbon di dalamnya dan manajemen yang baik.
Perusahaan pengahasil limbah
diantaranya perusahaan-perusahaan yang memproduksi pupuk, kemudian hotel, rumah
sakit dan klinik. Perusahaan tersebut banyak yang mengahsilkan limbah bahan
bahaya beracun (B3).
Limbah tersebut sangatlah berbahaya
pada lingkungan dan bahkan bisa merusak keseatan manusia. Seperti limbah rumah
sakit jauh lebih berbahaya dari pada limbah pabrik atau perkebunan.
Karena selain merusak lingkungan, dapat membahayakan kesehatan manusia. Limbah
bekas bersalin, darah, kotoran, pakaian operasi, pakain pasien, jarum suntik
hingga obat yang tidak terpakai, menjadi limbah paling berbahaya.
Oleh
karena itu dalam pengelolaan limbah dengan baik untuk menjaga lingkungan dan
kesehatan masyarakat sangatlah penting, hal ini juga menjaga loyalitas
masyarakat terhadap perusahaan tersebut. Berbagai langkah harus ditempuh oleh
perusahaan sebagai solusi dalam masalah yang tergolong besar ini. Langkah yang
harus di tempuh mengenai operasioanalnya, manajemen, dan bahkan system
akuntansi karbon harus ditetapkan sebagai hal yang tidak kalah pentingnya
supaya perusahaan tersebut tetap jalan dan menjadi loyalitas pelanggan.
1.2 Rumusan Masalah
Pertumbuhan
industry-industry yang mengahasil limbah dalam operasiaonalnya sangat banyak di
Indonesia. Banyak keuntungan yang bisa
di dapatkan oleh pihak perusahaan, pemerintah dan masyarakat, seperi mudahnya
mendapatkan produksi dan jasa dari perusahaan tersebut, seperti perusahaan
pupuk, pabrik, rumah sakit klinik, dan lain-lain. Namun kelemahan yang
terjadipun tidak dapat dipungkiri dan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan,
lingkungan pemerintah dan masyarakat.
Selain
itu, Isu-isu tentang manajemen biaya karbon (carbon cost management)
akan berimplikasi pada isu strategis lain terkait dengan akuntansi manajemen.
Sekali biaya carbon suatu produk diketahui, berbagai isu strategis dibidang
akuntansi manajemen akan dapat dikembangkan.Dalam hal ini, termasuk efisiensi
emisi CO2 dalam penggunaan bahan baku, biaya tenaga kerja,biaya overhead
pabrik, biaya overhead lingkungan, serta isu-isu yang terkait dengan manajemen biaya
karbon, corporate governance, standar akuntansi karbon dan strategi audit
(Ratnatunga,2007). Berbagai isu strategis lainnya juga dapat dikembangkan
seperti strategi pemasaran karbon, strategi harga dan pemodelan demand atas
kredit emisi karbon.
Dari uraian diatas maka penulis
dalam makalah ini ingin membuat rumusan masalah sebagai berikut ;
1. Apa itu pengertian akuntansi,
karbon dan akuntansi karbon (carbon accounting) ?
2. Apa itu Protokol Kyoto serta
kaitannya?
3. Apa saja paradigma akuntansi
karbon dan faktor strategis akuntansi manajemen?
4. Apa saja peran akuntansi karbon?
5. Apa itu konsep akuntansi karbon
penuh (FCA)?
6. Apa tinjauan system karbon?
1.3 Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini, yaitu supaya para mahasiswa dan masyarakat mengetahui
mengenai akuntansi karbon dan apa saja yang menyangkut dengan akuntansi karbon
,seperti perusahaan penghasil limbah. Tulisan ini juga sebagai langkah supaya
para pembaca bisa mempelajari masalah akuntansi karbon dan bahkan bisa meneliti
dan menulis mengenaik akuntansi karbon yang selama ini minim dipaparkan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Akuntansi merupakan salah satu
disiplin ilmu yang bersifat esensial. Akuntansi
adalah pengukuran, penjabaran, atau pemberian kepastian mengenai informasi yang
akan membantu manajer, investor, otoritas pajak dan pembuat keputusan lain
untuk membuat alokasi sumber daya keputusan di dalam perusahaan, organisasi,
dan lembaga pemerintah. Akuntansi seni
dalam mengukur, berkomunikasi dan menginterpretasikan aktivitas keuangan dalam
perusahaan. Secara luas, akuntansi juga dikenal sebagai "bahasa
bisnis".[1] Akuntansi bertujuan untuk menyiapkan suatu laporan keuangan
yang akurat agar dapat dimanfaatkan oleh para manajer, pengambil kebijakan, dan
pihak berkepentingan lainnya, seperti pemegang saham, kreditur, atau pemilik.
Pencatatan harian yang terlibat dalam proses ini dikenal dengan istilah
pembukuan
Sedangkan
karbon adalah zat arang yang merupakan unsur
kimia yang mempunyai simbol C dan nomor
atom 6 pada tabel
periodik. Karbon memiliki
beberapa jenis alotrop, yang paling terkenal adalah grafit, intan, dan karbon amorf.
Jadi,
terkait dengan bidang akuntansi, carbon cost management merupakan era
baru gagasan transaksi ekonomi berbasis ekologi, yang dinamakan akuntansi
karbon (Carbonaccounting). Sebagaimana implikasi dari konsep carbon cost
management, penerapan Carbonaccounting jugaakan berimplikasi secara luas
pada profesi dan isu-isu strategis akuntansi manajemen karbon, terutama bagi negara maju yang telah
menerapkan konsep perdagangan karbon dalam era Carbonomics.
2.2
Protocol Kyoto
Protokol
Kyoto, dalam salah satu pasalnya, menyatakan pentingnya merubah perilaku
hidup menuju konsep ekonomi
lingkungan. Diakui atau tidak, sekarang ini aktifitas ekonomi dan konsumsi
manusia telah menjadi faktor utama penyebab adanya global warming. Implikasi
selanjutnya dari pemanasan global tersebut adalah meningkatnya suhu rata-rata
bumi yang dapat berdampak pada aspek sosial budaya secara serius jika tidak
segera ditangani. Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi
Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan
internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi
protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan
lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika
mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah
dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto
diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02°C hingga 0,28°C
pada tahun 2050.
Pengaruh
dampak global warming terhadap kehidupan manusia telah memunculkan
serangkaian tindakan serius dari
masyarakat dunia guna melakukan upaya pencegahan efek
global warming secara lebih luas.
Protokol Kyoto, yang telah ditanda tangani dan diratifikasi
oleh sebagian besar negara-negara
di dunia tersebut merupakan kunci perubahan bagi
masyarakat dunia. Dalam protokol
dinyatakan bahwa pemerintah negara-negara pe-ratifikasi,
perusahaan-perusahaan dan
konsumen harus segera melakukan upaya perubahan perilaku
menuju konsep ekonomi baru,
yaitu, era ekonomi lingkungan, yang oleh Ratnatunga (2007)
dinyatakan sebagai “Carbonomics”.
Gagasan
era Carbonomics akan mampu menjadi motor penggerak perlindungan
lingkungan dan penyelamatan dunia
dari persoalan peningkatan pemanasan global. Implikasi
dari penerapan konsep Carbonomic
akan berakibat pula pada perkembangan sosial budaya,
profesi, model ekonomi dan bahkan
sampai pada model supply dan demand.
Salah satu dari rekomendasi
Protokol Kyoto adalah diakuinya skema perdagangan
Karbon. Model perdagangan ini
dapat digambarkan demikian: perusahan-perusahan awalnya melakukan kesepakatan
(dengan mediasi regulasi pemerintah) tentang seberapa besar
Carbondioksida (CO2) yang akan
dihasilkan oleh produksi mereka (The Cap). Jika perusahaan tertentu
dalam memproduksi barang atau jasa menghasilkan emisi CO2 kurang dari batas
yang telah ditetapkan, mereka memiliki nilai kredit, sebaliknya, jika
perusahaan tertentu melebihi ambang ketetapan emisi CO2, maka mereka dapat
membeli kredit dari perusahaan yang memiliki emisi dibawah ambang ketetapan
(Ratnatunga, 2008). Jumlah batas akumulasi emisi karbon dalam suatu wilayah
tidak boleh melebihi jumlah batas akumulasi maksimal yang telah ditetapkan (The
Cap) (Ratnatunga, 2007).
Isu-isu
tentang manajemen biaya karbon (carbon cost management) akan
berimplikasi
pada isu strategis lain terkait
dengan akuntansi manajemen. Sekali biaya carbon suatu produk
diketahui, berbagai isu strategis
dibidang akuntansi manajemen akan dapat dikembangkan.
Dalam hal ini, termasuk efisiensi
emisi CO2 dalam penggunaan bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya overhead
pabrik, biaya overhead lingkungan, serta isu-isu yang terkait dengan manajemen biaya
karbon, corporate governance, standar akuntansi karbon dan strategi audit
(Ratnatunga, 2007). Berbagai isu strategis lainnya juga dapat dikembangkan
seperti strategi pemasaran karbon, strategi harga dan pemodelan demand atas
kredit emisi karbon.
Terkait
dengan bidang akuntansi, carbon cost management merupakan era baru
gagasan transaksi ekonomi berbasis ekologi, yang dinamakan akuntansi karbon
(Carbonaccounting). Sebagaimana implikasi dari konsep carbon cost
management, penerapan Carbonaccounting juga akan berimplikasi secara luas
pada profesi dan isu-isu strategis akuntansi manajemen karbon, terutama bagi
negara maju yang telah menerapkan konsep perdagangan karbon dalam era Carbonomics.
Namun proses
akulturasi sikap dan perilaku ekonomi berbasis ekologi tidak serta merta dapat
berlaku dalam suatu wilayah akuntansi sosial, atau memberi efek spektrum yang
begitu luas pada bidang lain. Akulturasi tersebut membutuhkan kesiapan
pengetahuan, teknologi, justifikasi hukum dan terutama kesadaran konvensional
dalam praktik bisnis. Oleh karena itu, dalam tahap awal perkembangan era
Carbonaccounting (Akuntansi Karbon) di negara berkembang, khususnya di
Indonesia, dibutuhkan seperangkat perekayasaan akuntansi
manajemen sebagai stimulan bagi
aplikasi model Carbonacounting. Terkait dengan hal tersebut, maka masalah yang
perlu dikaji adalah sejuah mana aplikasi Carbonaccounting tersebut didukung
oleh kesiapan dan kemauan untuk mengembangkan berbagai isu strategis dan perekayasaan
dibidang akuntansi manajemen. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi sejauh
mana faktor-faktor isu strategis akuntansi manajemen memberi dampak pada paradigm
Carbonaccounting.
2.2.1 Carbonomics
Salah
satu rekomendasi dari Protokol Kyoto adalah sistem ambang emisi dan
perdagangan karbon. Perusahaan
membutuhkan pemikiran dan tekhnologi baru untuk
mengimplementasikan gagasan
perdagangan karbon dibawah Protokol Kyoto. Isu pokok dalam perdagangan karbon
ini adalah jumlah karbon yang dapat dirasionalisasi dan model pasar perdagangan
karbon yang dapat mempengaruhi strategi bisnis, kinerja keuangan dan nilai perusahaan.
Untuk dapat mengarah pada gagasan perdagangan karbon, dibutuhkan pemahaman yang
baik tentang elemen-elemen akuntansi bisnis dan keuangan, seperti permodalan, permintaan
dan penawaran kredit karbon, nilai bisnis manejemen resiko, alokasi modal, dan bahkan
jika mungkin adalah standar pelaporan keuangan yang secara khusus terkait
dengan transaksi karbon. Sebagai tambahan, isu – isu tentang pajak yang terkait
dengan pajak emisi karbon dan implikasi transfer harga perdagangan karbon perlu
untuk diperhatikan.
Sekarang
ini, di Eropa, fokus utamanya adalah laporan keuangan dan perpajakan. Sedikit sekali
yang memfokuskan dalam hal profesi akuntansi yang terkait dengan akuntansi
manajemen strategis termasuk penilaian pasar dan isu – isu tentang manajemen
kinerja. Isu yang terkait dengan manajemen biaya karbon (Carbon Cost
Management) utamanya terkait dengan apakah pelaporan biaya karbon bersifat
mandatory atau voluntary, yang dalam hal tertentu sangat tergantung pada
kompetisi industri suatu negara. Ketidak seimbangan dalam konsumsi sumber – sumber
ekonomi dalam perspektif keberlanjutan lingkungan tidak hanya disebabkan oleh perspektif
ekonomi semata tetapi rendahnya tingkat kesadaran untuk melakukan tindakan pencegahan
Global Warming.
Ada
lima gas yang dapat menyebabkan efek global warming yaitu Carbondiokside,
metan, nitrous
oxide, sulfur heksaflouride, dan HFC. Protokol Kyoto membatasi
keberadaan gas tersebut diudara terutama karbondioksida (Carbondiokside)
yang terkait langsung dengan
aktivitas ekonomi dan manusia.
Terkait dengan kegiatan ekonomi, Protokol Kyoto memberikan batasan investasi
tekhnologi emisi CO2 yang rendah, perhitungan biaya dalam harga pokok produksi
dan pembebanan biaya emisi karbon kepada pelanggan berdasar regulasi.
Ratnatunga
(2007) telah melakukan penelitian yang melibatkan 638 responden dari 11
negara. Penelitian yang dimulai
tahun 2003 hingga awal 2007, menghasilkan berbagai gagasan segar terkait dengan
pengurangan karbon bagi entitas bisnis dan perseorangan serta isu – isu strategis
dibidang akuntansi manajemen terkait dengan manajemen karbon (sebagian
ditampilkan dalam Tabel 1).
2.2.2 Kendali Karbon Akuntansi dan
Protokol Kyoto: A Systems-Analytical View
Sumber
IIASA Hutan Lestari (FOR) Proyek, bersama dengan Sistem Energi Energi
Kompatibel (ECS) Proyek, adalah melaksanakan akun karbon penuh (FCA) untuk
Rusia. Laporan ini membahas aplikasi FCA dalam menangani beberapa masalah
ilmiah utama dan tantangan yang mendasari Revisi 1996 Pedoman Panel
Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dan Protokol Kyoto. UNTUK
bergerak menuju pendekatan penuh karbon akuntansi, mengambil baseline, skenario
baseline dan ketidakpastian ke rekening. Kami memiliki sejumlah keunggulan
dalam melaksanakan pekerjaan ini dengan memiliki akses ke database yang unik di
Rusia. Vegetasi hutan Rusia mengandung sekitar 20 persen karbon dunia disimpan
dalam vegetasi hutan yang kami telah menghasilkan database rinci tentang sektor
kehutanan, terestrial biota, dan penggunaan lahan. UNTUK juga akan memperoleh
account karbon penuh untuk negara-negara lain (Austria, Ukraina, dll), yang
akan memungkinkan proyek untuk menggeneralisasi temuan dan untuk
mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan yang relevan untuk membuat Protokol
Kyoto operasional. Karya ini akan secara signifikan memberikan kontribusi pada
kerja IPCC dan Internasional Program Geosfer-Biosfer, dan secara alami akan
link dengan remote sensing dan kegiatan keanekaragaman hayati di IIASA. Studi
ini menganalisis sejumlah isu penting yang relevan dengan, tetapi tidak tepat
diperhitungkan oleh Protokol Kyoto. Isu-isu berkaitan dengan: (1) apakah
pedoman gas rumah kaca dari Panel Itergovernmental tentang Perubahan Iklim
dapat berfungsi sebagai penghitungan karbon utama dan sistem kepatuhan hukum
dari Protokol Kyoto, (2) penghitungan karbon penuh, (3) menetapkan baseline dan
pasca 1990 skenario baseline, dan, (4) akuntansi untuk ketidakpastian
2.3 Carbonaccounting (juga Paradigma
Carbonaccounting) dan Faktor-Faktor Strategis Akuntansi Manajemen
Terkait
dengan gagasan Carbonomics, dampak gagasan tersebut telah merambah di
berbagai macam profesi,
diantaranya adalah profesi akuntansi. Hal ini karena bidang akuntansi, terutama
akuntansi manajemen, keuangan dan audit baik langsung ataupun tidak langsung terkena
dampak dari era carbonomics tersebut. Dalam terminologi akuntansi, Carbonomics
memberi dampak pada Carbonaccounting. Pada tahapan selanjutnya, era Carbonacccounting
akan berkembang jika didukung oleh berbagai sistem dan perekayasaan akuntansi
yang memadai. Pada era Carbonaccounting, sebuah gagasan untuk
menghubungkan produk dengan efisiensi CO2 perlu mendapat dukungan dan perhatian
secara serius, sebab satu gagasan dalam efisiensi emisi CO2 adalah satu
tindakan dalam penyelamatan dunia. Inilah makna penting Paradigma Carbonaccounting
dalam pengembangan profesi dan perekayasaan akuntansi dalam situasi dunia
yang tengah dilanda kecemasan akibat global warming.
Kunci
utama dalam Carbonaccounting adalah efisiensi emisi gas rumah kaca,
khususnya CO2 (gas terbesar yang dihasilkan oleh aktifitas manusia), yang
terkait dengan proses produksi maupun penyediaan barang dan jasa. Oleh karena
itu, pengendalian emisi CO2 merupakan faktor kunci. Jika mekanisme perdagangan
karbon dalam Protokol Kyoto disepakati dalam suatu negara maka kejelasan
tentang sistem perdagangan karbon, penyerapan emisi karbon serta batas emisi karbon
harus tertuang secara jelas dalam sebuah perundangan. Dorongan untuk mencapai paradigma
Carbonaccounting juga akan semakin jelas terwujud jika capaian
minimalisasi global warming dan perubahan perilaku (cukture)
dapat terukur secara jelas.
Paradigma
Carbonaccounting akan didukung oleh dunia praktik akuntansi jika
berbagai instrumen strategis yang melingkupinya telah siap. Mencermati berbagai
isu dalam editorial Ratnatunga (2007, 2008), dapat dirangkum berbagai faktor
terkait dengan kebutuhan instrument strategis akuntansi manajemen.
2.3.1 Paradigma Carbonaccounting dan standar akuntansi karbon
Standar
akuntansi karbon merupakan isu strategis yang diduga mampu mendorong
paradigma Carbonaccounting.
Standar akuntansi karbon, selain sebagai pijakan transparansi dan akuntabilitas
dalam pelaporan manajemen karbon, juga menjadi dasar bagi pengambilan
keputusan terkait dengan biaya
produksi berbasis efisiensi emisi karbon. Karena batas wilayah pencemaran emisi
karbon dalam ruang udara bersifat semu, maka standar akuntansi karbon juga harus
mengatur tentang biaya litigasi dalam sengketa perdagangan karbon. Semakin
transparan dan akuntabel standar karbon akan semakin mendorong perubahan
paradigma manajemen menuju Carbonaccounting
2.3.2 Paradigma Carbonaccounting dan sistem kontrol manajemen
Sistem
kontrol manajemen (SKM) merupakan terminologi yang sangat luas, yang
meliputi sistem akuntansi
manajemen (SAM) dan juga sistem kontrol yang lain seperti personal control ataupun
clan control. Sementara itu SAM didefinisikan sebagai praktik-praktik
akuntansi manajemen seperti budgetting, yang digunakan secara
sistematis untuk mencapai tujuan perusahaan (Chenhall, 2003). Beberapa
penggagas teori (teorists)seperti Burn, Stalker, Perrow, dan
Thompson (dalam Chenhal, 2003) menyatakan pentingnya fokus studi terhadap
hubungan antara teknologi dengan struktur organisassi. Identifikasi
terhadap variabel kontekstual yang secara potensial berimplikasi
terhadap efektifitas desain SKM dapat didekati dari perspektif teori contingency.
Hasil-hasil penelitian yang lalu menunjukkan ada hubungan antara kondisi lingkungan
organisasi dengan SKM.
Terkait
dengan era karbon, SKM sebuah perusahaan seharusnya didesain untuk
menopang paradigma carbonaccounting.
Dalam hal ini, dua aspek penting SKM adalah,
pertama, perilaku manajemen dalam
mencapai target efisiensi karbon. Tanpa perubahan perilaku manajemen dalam
level personal, sistem perusahaan tidak akan mampu menopang gagasan paradigma carbonaccounting.
Kedua, sistem informasi reward dan punishment di lingkungan manajemen
dalam mencapai efisiensi karbon. Ketersediaan sistem tersebut akan
memicu akuntabilitas manajerial dalam efisiensi karbon, sebagai bagian dari
tanggungjawan social perusahaan dalam menyelamatkan dunia dari ancaman global
warming.
2.3.3 Paradigma Carbonaccounting dan manajemen produksi
Penelitian
Ratnatunga (2007) yang dilakukan sepanjang tahun 2003 hingga 2007 juga
menyimpulkan faktor-faktor
penting yang terkait dengan manajemen efisiensi karbon dalam
produksi, seperti manajemen bahan
baku (limbah produksi), biaya overhead pabrik (BOP)
konvensional (diantaranya
marketing, trasportasi bahan baku, depresiasi mesin), BOP
lingkungan (diantaranya biaya
regulasi, recycling, amortisasi biaya desain), tenaga kerja (etos
kerja berbasis efisiensi karbon),
dan aspek pembiayaan (stock holding costs, debitors costs, dan carbon tax).
Mendasarkan pada aspek-aspek produksi tersebut, manajemen produksi harus melingkupi
standard teknis produksi berbasis efisiensi CO2, efisiensi bahan baku dan waktu
produksi. Semakin jelas tolok ukur manajemen produksi berbasis ekologi maka
semakin jelas pula pula arah perubahan paradigma akuntansi manajemen
menuju Carbonaccounting.
2.3.4 Paradigma Carbonaccounting, Corporate Governance dan Strategi
Audit
Corporate governance merupakan isu
strategis dibidang akuntansi manajemen. Tidak
saja karena meningkatnya pasar
uang secara global, pertumbuhan perusahaan mutinasional dan perkembangan
ekonomi kawasan, namun corporate governance dibutuhkan dalam situasi
mengatasi tumbangnya berbagai
perusahaan raksasa kelas dunia (Subramanian, dan Janek
Ratnatunga (2003)). Lebih jauh,
Ratnatunga dan Muhamed Ariff (2005) menyatakan bahwa perhatian terhadap corporate
governance terutama dimotivasi oleh kepentingan publik dalam hal kesehatan
ekonomi perusahaan dan ekonomi sosial secara keseluruhan.
Dalam
perspektif paradigma carbonaccounting, dimensi penyelamatan ekologi
adalah faktor penting dalam keberlanjutan ekonomi negara, bahkan dunia. Oleh
karena itu, paradigm carbonaccounting harus didukung oleh corporate
governance yang melingkupi kesehatan dan keberlanjutan ekonomi sosial.
Faktor penting implementasi carbonaccounting dalam perspektif corporate
governance adalah adanya jaminan dari institusi (profesi atau institusi
hukum) tentang akuntabilitas dan transparansi pelaporan manajemen karbon oleh
perusahaan. Dua aspek tersebut memberi dukungan pada keberlanjutan ekologi dan
ekonomi sosial secara keseluruhan, sebagai tujuan utama dalam efisiensi karbon.
Lebih
jauh, guna mendukung implementasi akuntabilitas dan transparansi manajemen
karbon secara independen,
dibutuhkan perekayasaan audit karbon pada tingkat lanjut. Teknik
audit karbon tersebut untuk
mengaudit secara obyektif terhadap jejak rekam produksi yang
menghasilkan emisi karbon, yang
meliputi bagian produksi, pemasaran, persediaan bahan baku, investasi mesin,
praktik SDM dan brand image perusahaan dalam akuntabilitas efisiensi karbon.
Dari
kajian penelitian terdahulu tersebut di atas, secara teoritis jelas sekali
terdapat
pengaruh dari kesiapan berbagai
aspek strategis akuntansi manajemen terhadap paradigma
carbonaccounting.
Berbagai
aspek strategis tersebut meliputi faktor standar akuntansi karbon; sistem
kontrol manajemen; manajemen produksi; corporate governance; dan faktor
audit karbon. Secara sistematis, hubungan antar variabel dependen-independen
tersebut dapat digambarkan pada Gambar 1.
Mendasarkan
pada rumusan masalah, tujuan penelitian, penelitian terdahulu dan
kerangka pemikiran teoritis tersebut hipotesis
penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut:
Hipotesis 1:
Diduga faktor Standar Akuntansi Karbon berpengaruh terhadap Paradigma
Carbonaccounting
Hipotesis 2:
Diduga faktor Sistem Kontrol Manajemen berpengaruh terhadap Paradigma
Carbonaccounting
Hipotesis 3:
Diduga faktor Manajemen Produksi berpengaruh terhadap Paradigma
Carbonaccounting
Hipotesis 4:
Diduga faktor Jaminan Corporate Governance berpengaruh terhadap Paradigma
Carbonaccounting
Hipotesis 5: Diduga faktor Audit Karbon
berpengaruh terhadap Paradigma Carbonaccounting
2.3.5
Kaitannya dengan Manajemen Produksi
Manajemen
produksi sebagai bagian penting efisiensi emisi karbon, juga memegang
peran dalam dalam era carbonacconting.
Efisiensi waktu dan bahan baku produksi secara nyata telah mengurangi
proses pembakaran dalam proses produksi dan mengurangi kebutuhan energy batu
bara yang secara potensial menghasilkan CO2. Efisiensi emisi CO2 dengan
demikian harus memperhatikan dua faktor tersebut disamping faktor standard
teknis produksi berbasis efisiensi emisi, guna mencapai paradigma carbonaccounting.
Sebagaimana
dinyatakan sebelumnya, bahwa Corporate Governance dalam hal jaminan adanya
institusi negara / regulator merupakan aspek penting dalam akuntabilitas dan
tranparansi manajemen efisiensi karbon. Ratnatunga dan Mohamed Ariff (2005)
mengilustrasikan bahwa Corporate Governance merupakan sistem yang secara
evlosuioner telah merambah di setiap negara guna mengatasi krisis sistemik yang
melanda perusahaan di negara bersangkutan. Global warming merupakan
indikasi krisis lingkungan yang secara sistemik dapat berimplikasi pada aspek
ekonomi dan sosial suatu negara, bahkan dunia. Mendasarkan perspektif
keberlanjutan lingkungan dan ekonomi tersebut, faktor Corporate Governance merupakan
variabel potensial dalam era carbonaccounting.
Guthrie
(1996) menyatakan bahwa perusahaan sektor publik, baik swasta maupun badan
usaha milik negara, dewasa ini sedang mengalami tekanan dari berbagai pihak
untuk
mengungkapkan informasi yang
terkait dengan lingkungan. Bahkan beberapa pihak telah
meminta dilakukannya penelitian
secara mendalam guna pengungkapan informasi lingkungan
dalam annual report. Namun
beberapa kalangan profesional dan praktisi perusahaan hingga
sekarang masih kesulitan
menemukan bentuk baku tentang pelaporan lingkungan tersebut. Lebih jauh,
Larrinaqa, et al., (2002) menunjukkan bahwa pelaporan lingkungan secara
mandatory merupakan salah satu cara untuk meningkatkan akuntabilitas sosial
perusahaan. Namun suatu standar yang ditetapkan harus mampu mengcover kepentingan
stakeholders dan memperkuat akuntabilitas perusahaan secara obyektif.
Berangkat dari fakta obyektifitas dan sulitnya menemukan bentuk baku model
pelaporan lingkungan tersebut, perusahaan sampel nampaknya memiliki respon yang
sama dalam memahami desain pelaporan akuntansi karbon. Implikasi darihal
tersebut adalah bahwa standar akuntansi karbon dianggap sebagai faktor yang
menyulitkan dalam mengekspresikan pertanggungjawaban efisiensi emisi karbon,
apalagi jika standar tersebut menetapkan pelaporan manajemen karbon sebagai hal
yang bersifat mandatory. Oleh karena itu responden merespon secara
negatif faktor kebutuhan terhadap standar akuntansi karbon.
Strategi
audit (karbon), seharusnya merupakan instrumen penting dalam menyikapi
paradigma carbonaccounting.
Namun faktor strategi audit dalam penelitian ini bukan merupakan hal signifikan
sebagai prediktor paradigma carbonaccounting. Hal ini dikarenakan bahwa sebenarnya
strategi audit merupakan implikasi dari paradigma carbonaccounting.
Artinya, bahwa pada tahap awal perkembangan era carbonaccounting strategi
audit bukan faktor utama dalam desain akuntansi manajemen. Strategi audit lebih
mencerminkan kepentingan dimasa datang dibanding kepentingan sekarang dalam
tahapan paradigma carbonaccounting.
2.3.6
Kaitan Global Warming dengan Carbon Accounting
Isu-isu
tentang global warming dan perdagangan karbon, serta pengaruh keduanya
terhadap terhadap profesi
akuntansi telah menjadi diskusi serius yang diselenggrakan oleh ICMA (Institute
of Certified Management Accountants), dengan mediator Janek Ratnatunga,
peneliti senior dari organisasi tersebut. Serangkaian diskusi yang dilakukan di
Australia (8 kali), Kanada (4), India (1), China (1), Lebanon (2), Philipina
(1) Papua Nugini (2), Indonesia (4), Sri Lanka (4), Malaysia (2), Singapore
(1), dan United Arab Emirates (1) menghasilkan temuan penting terkait dengan
dampak penerapan perdagangan karbon terhadap profesi akuntan, cost dan revenue
(biaya produksi), serta isu strategis carbon cost management (Ratnatunga, 2007).
Diskusi
tersebut mengasumsikan bahwa era carbonomics telah berlaku dan selanjutnya adalah
mendeskripsikan model isu-isu strategis, terutama bidang akuntansi manajemen,
yang mungkin terkena dampak penerapan konsep karbon tersebut. Sebaliknya, jika
seandainya era carbonomics merupakan sutau keharusan, maka faktor-faktor atau
isu-isu penting yang terkait dengan Carbonomics harus dapat dieksplorasi secara
cermati. Penelitian ini mendasarkan pada analogi asumsi tersebut, sebagai
sebuah kajian eksploratif yang hendak menginvestigasi faktorfaktor penting
sebagai pendorong implementasi penerapan Carbonaccounting –terminologi khusus
bidang akuntansi dalam konsep Carbonomics.
Isu-isu
penting dalam diskusi dan hasil temuan para peneliti ICMA yang dianggap
penting adalah terkait dengan
faktor standar akuntansi karbon, yang meliputi pentingnya standar emisi,
voluntary atau mandatory pelaporan emisi karbon dan biaya litigasi; dan faktor
system kontrol manajemen yang meliputi cakupan sistem informasi dalam kerangka
perubahan perilaku menuju efisiensi karbon. Faktor ketiga, yaitu manajemen produksi
yang merupakan faktor yang secara langsung terkait dengan produksi suatu produk
yang menghasilkan emisi karbon, dan pengurangan waktu. Ketiga faktor tersebut
terkait dengan strategi sistem akuntansi manajemen karbon.
Faktor
lain yang juga penting adalah strategi corporate governance atau yang sering
disebut sebagai faktor jaminan
corporate governance, yaitu adanya jaminan akuntabilitas dan
transparasi dalam pelaporan dan
manajemen karbon. Faktor lain, adalah dalam hal implementasi akuntabilitas
yaitu faktor audit yang terkait dengan teknik lebih lanjut tentang audit emisi
karbon dalam tahapan produksi, pemasaran, dan praktik-praktik SDM berbasis
efisiensi karbon.
2.3.7 Keterbatasan
dan Implikasi Penelitian dimasa Datang
Penelitian
ini memiliki keterbatasan dalam demografi obyek populasi, yaitu dalam
lingkup Jawa Tengah. Obyek
populasi secara lebih luas (nasional) untuk perusahaan sektor
publik perlu dikembangkan dalam
penelitiaan dimasa datang. Tidak adanya variabel kontrol,
seperti rasio-rasio keuangan dan
size, menjadi pemicu adanya kemungkinan confounding effect, terlebih
lagi mengingat penelitian yang sekarang dilakukan bersifat crossectional.
Oleh karena itu, homogenitas obyek data dan penelitian longintudinal dengan
data pooled perlu ditekankan dalam penelitian berikutnya.
Fakta
empirik standar akuntansi karbon dan strategi audit bukan sebagai variabel
signifikan dalam penelitian
menujukkan bahwa standar akuntansi karbon dan bentuk baku
pelaporan emisi karbon masih
dalam model yang abstrak. Oleh kerena itu penelitian dimasa yang akan datang
dapat lebih dikembangkan khususnya berkaitan dengan desain standar akuntansi karbon
dan model integrasi pelaporan emisi karbon dalam laporan keuangan. Hal ini juga
didukung oleh penelitian sebelumnya (Byod dan Spencer Banzhaf, 2006 ; McCright
dan Riley E. Dunlap; Caraiani, et al., 2009; Yongvanich dan James Guthrie,
2006) yang menyatakan bahwa secara empirik model pelaporan lingkungan yang
terintegrasi dengan laporan keuangan dalam annual report hingga sekarang
masih dalam nuansa perdebatan.
2.3.8 Tindak Lanjut diperlukan
untuk Memfasilitasi Karbon Akuntansi
Emisi dan Perdagangan - Sebuah
Analisis Skenario
Pada tahap ini, tindakan selanjutnya
yang paling tepat bagi pemilik proyek karbon hutan untuk mengambil tergantung
pada hasil negosiasi pada Konferensi keenam Para Pihak (COP) pertemuan,
dijadwalkan untuk November 2.000,40 Pertemuan ini sangat penting bagi
menyelesaikan
beberapa definisi, aturan dan modalitas dari Protokol Kyoto. Seperti disebutkan
dalam pengenalan dokumen ini, ada dua definisi utama 'Reboisasi' yang
berpotensi dapat diadopsi untuk Protokol Kyoto.
Pertama Definisi, yang diberikan
oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), mendefinisikan reboisasi sebagai
"pembentukan buatan pohon di lahan yang telah dibersihkan dari hutan dalam
masa yang relatif baru "(IPCC, 2000). Ini menyiratkan bahwa definisi FAO reboisasi
termasuk regenerasi pasca panen. Kedua pilihan utama untuk mendefinisikan reboisasi,
yang disediakan oleh IPCC, mendefinisikan reboisasi sebagai "penanaman
hutan pada lahan yang sebelumnya telah berisi hutan, tetapi telah dikonversi ke
beberapa lainnya gunakan "(IPCC, 2000). Jadi, menurut definisi IPCC,
regenerasi pasca panen tidak merupakan regenerasi.
Implikasi dari kedua definisi yang
berlawanan tentang reboisasi yang besar, mengingat bahwa SM memiliki sekitar 23
juta hektar lahan hutan yang mungkin atau tidak dapat diklasifikasikan sebagai
'hutan Kyoto', tergantung pada definisi yang diadopsi. Berdasarkan definisi
FAO, daerah yang luas lahan 'Kyoto memenuhi syarat' dapat dibuat melalui siklus
panen / regenerasi. Ini harus menyediakan insentif untuk mendorong penyerapan
karbon selama panen / siklus regenerasi. Namun, definisi FAO menyisakan ruang
untuk berbagai 'Celah' karena akuntansi tidak seimbang, di mana negara bisa mendapatkan
'durian runtuh' kredit dengan panen antara tahun 1990 dan 2008 (yang kehilangan
karbon yang belum ditemukan), namun mendapatkan kredit untuk karbon yang
tersimpan dalam hutan regenerasi setelah 2008 (IPCC, 2000). Itu FAO definisi
juga dapat membuat 'insentif' untuk panen hutan pertumbuhan tua, untuk menerima
kredit untuk regenerasi hutan (IPCC, 2000).
Berdasarkan definisi IPCC reboisasi,
siklus panen / regenerasi tidak menciptakan
Hutan
yang memenuhi syarat Kyoto. Dalam sebuah lokakarya baru pada LULUCF, 41,
dilaporkan bahwa " Skenario definisi IPCC memberikan konsistensi tertinggi
antara dilaporkan dan actual perubahan cadangan karbon atas tanah dengan
kegiatan RAD "(IISD, 2000).
Mengingat kelemahan yang diakui
secara luas dari definisi FAO reboisasi, itu
mungkin
bahwa definisi FAO reboisasi akan diadopsi untuk Protokol, kecuali definisi
'deforestasi' dimodifikasi untuk menyertakan panen. Ada juga ketidakpastian
lebih lanjut terkait dengan Pasal 3.4 dari Protokol Kyoto. Selama COP 6,
diskusi diharapkan untuk mengambil tempat, apakah atau tidak kegiatan tambahan
40 Mengingat jumlah yang signifikan dan kompleksitas masalah karena untuk
diskusi pada COP 6, tidak pasti, dan mungkin, tidak mungkin, bahwa semua
masalah ini akan diselesaikan. Hutan pemilik proyek karbon mungkin harus
menunggu di luar COP 6 untuk banyak definisi final dan isu-isu mengenai
tenggelam hutan harus diselesaikan.
2.4
Peran Akuntansi Karbon
2.4.1 Karbon akuntansi untuk Pemanenan
Hutan dan Produk Kayu: Penelaahan dan Evaluasi atas Pendekatan yang Berbeda
Di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB
tentang Perubahan Iklim, lebih dari 160 negara wajib melaporkan persediaan gas
rumah kaca nasional mereka. Untuk membantu negara-negara memenuhi persyaratan
ini, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang disiapkan
pedoman inventarisasi gas rumah kaca. Pedoman ini secara berkala untuk
memastikan bahwa mereka didasarkan pada pengetahuan ilmiah terbaik. Pada bulan
Mei 1998, di Dakar, Senegal, pertemuan pakar IPCC ditinjau dan dievaluasi tiga
pendekatan akuntansi untuk karbon dari penebangan hutan dan produk kayu. Mereka
adalah pendekatan atmosfer-aliran, saham-perubahan dan produksi. Di masa depan,
pemerintah dapat memutuskan untuk memasukkan salah satu dari tiga pendekatan
dalam perubahan dan kehutanan modul penggunaan lahan dari Pedoman IPCC untuk
Persediaan Gas Rumah Kaca Nasional. Di sini, kita menunjukkan bagaimana
pendekatan tersebut dapat dievaluasi dengan menggunakan kriteria teknis, ilmiah
dan kebijakan. Tujuan evaluasi ini adalah untuk membantu para pembuat kebijakan
yang berpotensi memilih pendekatan untuk Pedoman IPCC. Makalah ini menyajikan
kerangka evaluasi dengan memisahkan masalah teknis dan kebijakan masing-masing
pendekatan, tetapi tidak membuat rekomendasi kebijakan. Atas dasar teknis dan
ilmiah, sekelompok ahli menemukan bahwa tiga pendekatan memberikan hasil yang
sama di tingkat global. Ketersediaan data bukan merupakan faktor penting dalam
memilih antara pendekatan. Namun, di tingkat nasional, pendekatan dapat berbeda
secara signifikan, misalnya, dalam hal batas-batas sistem mereka. Tergantung
pada fitur teknis dari masing-masing pendekatan, kredit dan debet untuk aliran
CO2 atau perubahan stok karbon dalam produk kayu dicatat berbeda di antara
negara-negara yang memproduksi atau mengkonsumsi kayu. Hal ini menyebabkan
insentif untuk melestarikan atau meningkatkan stok karbon yang berbeda dalam
hutan, penggunaan produk kayu yang diimpor dan bahan bakar kayu dan strategi
minimisasi limbah. Setiap pendekatan memiliki implikasi yang berbeda.
2.4.2 Akuntansi Karbon Hutan pada Skala
Operasional
Kanada? Hutan s memainkan peran
penting dalam karbon global (C) siklus. Kegiatan pengelolaan hutan,
diimplementasikan pada skala operasional, dapat memiliki dampak yang signifikan
terhadap anggaran C Kanada? Hutan s. Dengan meningkatnya pengakuan nasional dan
internasional bahwa kegiatan pengelolaan hutan dapat memberikan kontribusi
sumber C nasional dan tenggelam, pengelola hutan dapat memperoleh manfaat dari
memiliki alat ilmiah yang kredibel untuk menilai potensi dampak kegiatan
pengelolaan alternatif pada saham C dan perubahan stok di pangkalan tanah
mereka . Alat tersebut harus menggabungkan ilmu pengetahuan terbaik yang
tersedia, menjadi sesuai dengan aturan akuntansi internasional berkembang dan
memiliki fleksibilitas yang cukup untuk mengatasi jenis skenario dan pertanyaan
manajemen yang menarik bagi pengelola hutan. Agar biaya yang efektif dan
efisien untuk digunakan oleh pengelola hutan, alat harus memanfaatkan informasi
yang ada pada persediaan, pertumbuhan dan hasil, dan gangguan yang analis
mereka secara rutin digunakan dalam kegiatan perencanaan pengelolaan hutan
mereka. Informasi yang tersedia harus ditambah dengan data tambahan dan
pemodelan untuk memperkirakan perubahan pada kolam C yang tidak umum termasuk
dalam inventarisasi hutan, seperti karbon dalam bahan organik mati yang
berhubungan dengan sampah, kayu puing kasar dan C. Membangun tanah pada dekade
terakhir kerja dalam pengembangan dan penerapan K Anggaran Model Sektor
Kehutanan Kanada (CBM-CFS2), Kanada Forest Service C Tim Akuntansi kini bekerja
sama dengan Jaringan Hutan Model untuk mengembangkan, menguji dan memberikan
skala operasional C alat akuntansi dan database pendukungnya dengan nilai parameter
regional. Ketika sepenuhnya dikembangkan (2004), model operasional akan
tersedia tanpa biaya kepada siapa saja yang tertarik menggunakannya untuk
memperkirakan tingkat stok C hutan lansekap dan C perubahan stok.
Keahlian yang dikembangkan dalam jaringan
luas Hutan Model dan mitra mereka di Kanada akan memfasilitasi transfer
teknologi dan pelatihan dari komunitas pengguna yang lebih besar. Program
transfer teknologi alat dan akan memberdayakan pengelola hutan untuk memasukkan
pertimbangan dampak kegiatan yang direncanakan pada saham hutan C. Hal ini akan
meningkatkan penggunaan potensi hutan dan kegiatan pengelolaan hutan dalam
berkontribusi terhadap strategi pengurangan emisi gas rumah kaca. Kata kunci:
siklus karbon, penghitungan karbon, pengelolaan hutan, skala operasional,
perubahan penggunaan lahan, hutan Model, CBM-CFS2
2.4.3 Istilah 'Negosiator Kanada' Mengacu
pada Wakil yang Terpilih dari Kanada untuk Menghadiri dan Memberikan Kontribusi
Gambar 8: Manajemen pohon keputusan
di bawah hasil definisi yang berbeda untuk Pasal 3.3 dan 3.4. Lingkaran
menunjukkan hasil yang tergantung pada COP 6. Kotak mengindikasikan tindakan
manajemen yang disarankan. Berbagai terbatas tambahan kegiatan pengelolaan
dapat digunakan untuk memenuhi komitmen Kyoto berdasarkan Pasal 3.4 Selidiki
kelayakan sosial ekonomi manajemen dari 23 juta ha. dari hutan yang dikelola di
BC, memastikan berbagai kelas umur dipertahankan (Bagian 5.1.2.2), ditambah
penghijauan 3 juta hektar memenuhi syarat lahan non-hutan. Pastikan semua
kemungkinan kebocoran Isu-isu ini dibahas. Selidiki kelayakan sosial ekonomi
Reboisasi dari 3 juta ha. yang memenuhi syarat lahan non-hutan di SM. Hati-hati
pertimbangan dalam desain proyek diperlukan untuk memastikan proyek alamat
mungkin masalah kebocoran. Selidiki kelayakan sosial ekonomi
melakukan
kegiatan manajemen tambahan pada semua tanah. Melakukan penghitungan karbon
penuh pada semua berhasil hutan.
Definisi potensi hasil untuk Pasal
3.3 dan 3.4 Tidak ada kegiatan tambahan di bawah
Pasal
3.4 dapat digunakan untuk memenuhi Komitmen Kyoto The 'mengelola hutan'
pendekatan: Sebuah definisi yang luas 'Kegiatan tambahan' diadopsi dalam Pasal
3.4., Yang FAO definisi reboisasi diadopsi untuk menggabungkan.
2.4.4 Mendapatkan Grassland Faktor
Manajemen Metode Akuntansi Karbon Dikembangkan oleh Panel Antar Pemerintah
tentang Perubahan Iklim
Manajemen lahan rumput mempengaruhi
(SOC) penyimpanan karbon organik tanah dan dapat digunakan untuk mengurangi emisi
gas rumah kaca. Namun, untuk negara untuk menilai pengurangan emisi akibat
manajemen padang rumput, harus ada metode persediaan untuk memperkirakan
perubahan dalam penyimpanan SOC. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim
(IPCC) telah mengembangkan pendekatan akuntansi karbon sederhana untuk tujuan
ini, dan di sini kita memperoleh faktor manajemen padang rumput baru yang
mewakili pengaruh perubahan manajemen pada penyimpanan karbon untuk metode ini.
Pencarian literatur kami mengidentifikasi 49 studi yang berhubungan dengan efek
dari praktek manajemen yang baik kondisi rusak atau perbaikan relatif terhadap
padang rumput nominal dikelola. Rata-rata, degradasi mengurangi penyimpanan SOC
sampai 95% ± 0,06 dan 97% ± 0,05 karbon disimpan di bawah kondisi nominal di
daerah beriklim sedang dan tropis, masing-masing. Sebaliknya, meningkatkan
padang rumput dengan manajemen tunggal peningkatan aktivitas SOC penyimpanan
sebesar 14% ± 0,06 dan 17% ± 0,05 di daerah beriklim sedang dan tropis,
masing-masing, dan dengan peningkatan tambahan (s), penyimpanan meningkat lagi
11% ± 0,04. Kami menerapkan faktor koefisien yang baru diturunkan untuk
menganalisis potensi penyerapan C untuk padang rumput yang dikelola di AS, dan
menemukan bahwa selama periode 20-tahun mengubah manajemen bisa menyerap 5-142
Tg C thn-1 atau 0,1-0,9 Mg C ha-1 yr-1, tergantung pada tingkat perubahan.
Analisis ini memberikan direvisi koefisien faktor untuk metode IPCC yang dapat
digunakan untuk memperkirakan dampak manajemen, tetapi juga menyediakan
kerangka kerja metodologis bagi negara-negara untuk menurunkan faktor koefisien
khusus untuk kondisi di wilayah mereka.
2.4.5 Mengacu pada 'Penggunaan
Lahan, Perubahan Penggunaan dan Kehutanan'
'Hutan non-Kyoto' memenuhi syarat
berdasarkan Pasal 3.4 untuk membantu dalam memenuhi target Kyoto. Dengan kata
lain, tepat "modalitas, aturan dan pedoman bagaimana dan yang tambahan kegiatan
manusia "yang memenuhi syarat berdasarkan Pasal 3.4, yang belum
ditentukan.
Dalam laporan khusus disiapkan oleh
IPCC (2000), disarankan bahwa mungkin ada tiga kemungkinan hasil dari pertemuan
COP masa depan sehubungan dengan Pasal 3.4. Hasil pertama mengusulkan bahwa
tidak ada kegiatan tambahan akan memenuhi syarat berdasarkan Pasal 3.4, hanya
menyisakan kegiatan di bawah Pasal 3.3 berlaku untuk Protokol Kyoto. Hasil
kedua pertemuan COP masa depan mungkin bahwa seperangkat terbatas kegiatan yang
disetujui akan memenuhi syarat berdasarkan Pasal 3.4. Hasil ketiga mungkin
bahwa berbagai pilihan 'tambahan kegiatan manusia 'akan memenuhi syarat
berdasarkan Pasal 3.4.
Disini, utama lain hasil definisi
muncul. Dengan mengadopsi definisi yang sangat luas dari 'tambahan kegiatan ',
Pasal 3.3 dan 3.4 bisa dasarnya dikombinasikan dalam kerangka tunggal. Ini adalah
apa yang disebut 'hutan yang dikelola' pendekatan, diadopsi oleh negosiator
dari Canada42 di memimpin COP ke-6 (IISD, 2000). Pada dasarnya, ini berarti bahwa
para negosiator Kanada akan ingin melihat definisi 'reboisasi' untuk memasukkan
regenerasi setelah panen (yaitu, Definisi FAO reboisasi), memberikan panen yang
dicatat dengan definisi 'deforestasi' (NCCS, 1999). Dengan kata lain, hutan RAD
Kyoto akan dimasukkan sebagai komponen dari 'hutan yang dikelola', dan Pasal
3.3 dan 3.4 akan dikombinasikan. Dalam skenario ini, pendekatan 'Full Carbon
Accounting' akan diadopsi, di mana semua sumber karbon dan fluks dalam ekosistem
hutan akan diperhitungkan (Jonas dkk., 1999b).
2.5 Konsep Akuntansi Karbon Penuh (FCA)
FCA berikut - secara konsisten -
konsep-sistem karbon penuh. Dalam studi ini, FCA adalah anggaran karbon lengkap
yang mencakup dan mengintegrasikan semua (terkait karbon) komponen dari semua ekosistem
darat dan diterapkan secara terus menerus dalam waktu (masa lalu, sekarang dan
masa depan). Kita berasumsi bahwa komponen dapat digambarkan dengan mengadopsi
konsep pools2 dan fluks untuk menangkap fungsi mereka. Waduk mungkin alam atau
manusia-dampak dan internal atau eksternal terkait dengan pertukaran karbon
(serta hal-hal lain dan energi) [cf juga Steffen et al. (1998) dan Nilsson et
al. (1999)].
2.5.1 Dasar Fisik
Dalam Bagian ini kita meninjau
secara singkat dasar fisik balik penghitungan karbon. Ini diperlukan untuk
memahami konsekuensi bagi para praktisi yang mencoba untuk menentukan anggaran
karbon (lihat bagian 3.5). Hal ini juga memungkinkan kita untuk menganalisis
pertanyaan apakah atau tidak Pedoman IPCC dapat berfungsi sebagai akuntansi
utama dan sistem kepatuhan hukum untuk Kyoto Protocol.
Untuk tujuan diskusi kita, itu sudah
cukup untuk mengadopsi konsep sederhana, di mana kotak mewakili stok karbon
atau reservoir (lihat Gambar 3.1). Kita bisa membayangkan, karena cukup
rendah-diselesaikan skala spasial dan temporal, siklus karbon atas dasar mekanika
kontinum dan memanfaatkan persamaan kontinuitas, yang muncul dari dasar hukum
kekekalan massa (dan menyatakan bahwa materi dapat diciptakan maupun
dihancurkan).
2.5.2 Latar Belakang Ilmiah Kendali
Karbon Akuntansi (FCA)
Bunga dalam sistem karbon telah
meningkat karena peningkatan yang diamati dalam tingkat CO2 di atmosfer (dari ~
280 ppmv pada tahun 1800 untuk nilai sekarang dari 365 ppmv) dan karena penandatanganan
Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim telah memaksa negara-negara
untuk menilai kontribusi mereka terhadap sumber dan penyerap CO2 Dan untuk
mengevaluasi proses yang mengendalikan CO2 akumulasi di atmosfer (IPCC, 1995;
Indermühle, 1999). Dalam Bagian 3 dari laporan ini. (FCA) didefinisikan, dengan
mempertimbangkan konsistensi, dan dinilai dari perspektif yang berbeda,
termasuk ketidakpastian. Tujuan keseluruhan ini penilaian adalah untuk
memberikan dasar untuk Bagian 4, di mana kita menganalisis Protokol Kyoto dipertimbangan
konsep FCA.
2.6 Tinjauan Sistem Karbon
Atmospheric CO2 menyediakan hubungan
antara geologi, biologi, fisik, dan antropogenik proses. Karbon dipertukarkan
antara atmosfer, lautan, biosfer terestrial, dan litosfer. Pertukaran ini
melibatkan beberapa reservoirs2 karbon dengan berbeda kali turnover dan karbon
flows2 di antara mereka. Proses pertukaran dapat diilustrasikan dengan bantuan
dari dua siklus saling berhubungan, geologi dan siklus biologis. Itu siklus
geologi meliputi komponen paling lambat dari sistem, dengan omset kali diurutan
ribuan tahun dan seterusnya, sedangkan siklus biologis meliputi lebih cepat komponen,
yang memiliki omset kali di urutan puluhan hingga ribuan tahun. Alam Sistem
karbon didefinisikan oleh dinamika dari dua siklus, di bawah pengaruh eksternal
memaksa mekanisme dan tanpa adanya anthropgenic CO2 input ke atmosfer.
Pengukuran dari gelembung udara yang
terperangkap dalam es di kutub menunjukkan bahwa CO2 di atmosfer konsentrasi
selama seluruh Holosen, yaitu, selama 8.000 tahun terakhir, adalah ~ 280 ppmv, menyiratkan
bahwa sistem karbon alami berada di atau dekat ekuilibrium selama periode ini.
Namun, pada skala waktu yang lebih
lama, misalnya, selama periode glasial terakhir sebelum Holocene, yang CO2 di
atmosfer Konsentrasi ditemukan lebih rendah oleh ~ 80 ppmv, yaitu pada ~ 200
ppmv. Ini fluktuasi alami ditandai dengan lambat, transisi jangka panjang dan
belum dipahami (IPCC, 1995; Heimann et al, 1999;. Indermühle, 1999).
Kegiatan manusia telah mengganggu
alam, keseimbangan geologi-biologis, pada dasarnya melalui penggunaan karbon
fosil dan gangguan ekosistem darat. (Gambar 3.1 menunjukkan cepat komponen
sistem karbon. Ini adalah subsistem ini, juga disebut siklus karbon global,
yang Saat menerima perhatian khusus dari banyak ilmuwan dan pembuat kebijakan
berkat Konvensi.) Yang dihasilkan akumulasi CO2 di atmosfer telah menyebabkan
sejumlah sistem karbon proses menjadi tidak seimbang. Pembakaran bahan bakar
fosil dan pembuatan semen, bersama-sama dengan hasil hutan dan perubahan lain
dalam penggunaan lahan, semua pengalihan karbon (CO2 terutama sebagai) ke
atmosfer. Ini masukan karbon antropogenik maka siklus antara atmosfer dan
komponen biosfir dari sistem, yaitu, lautan dan biosfer terestrial. Karena
bersepeda karbon di biosfer darat dan laut terjadi secara perlahan, pada skala
waktu dekade ke ribuan tahun, efek fosil tambahan dan karbon biomassa
disuntikkan ke dalam atmsophere adalah gangguan jangka panjang dari sistem
karbon (IPCC, 1995; Heimann et al,. 1999).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Akuntansi karbon atau
carbonaccounting merupakan salah satu kebutuhan pada era global sekarang ini.
Dimana maraknya industry yang menghasilkan limbah, emisi dalam operasionalnya
sehingga bisa mengakibatkan global warming pengaruh lingkungan lainnya,
dan juga menganggu kesehatan masayrakat. Maka dengan adanya akuntansi karbon
yang kunci utamanya sebagai efisiensi gas rumah kaca, khususnya Co2 yang
terkait dengan proses produksi maupun penyediaan barang dan jasa.
Selain itu, Standar
akuntansi karbon merupakan isu strategis yang diduga mampu mendorong paradigma Carbonaccounting.
Standar akuntansi karbon, selain sebagai pijakan transparansi dan akuntabilitas
dalam pelaporan manajemen karbon, juga menjadi dasar bagi pengambilan keputusan
terkait dengan biaya produksi berbasis efisiensi emisi karbon. Karena batas
wilayah pencemaran emisi karbon dalam ruang udara bersifat semu, maka standar
akuntansi karbon juga harus mengatur tentang biaya litigasi dalam sengketa
perdagangan karbon. Semakin transparan dan akuntabel standar karbon akan
semakin mendorong perubahan paradigma manajemen menuju Carbonaccounting.
Dorongan untuk
mencapai paradigma Carbonaccounting juga akan semakin jelas terwujud
jika capaian minimalisasi global warming dan perubahan perilaku (cukture)
dapat terukur secara jelas.
3.2 Saran
Akuntansi
karbon seharusnya dipelajari dan ditetapkan dalam perusahaan yang dalam
operasionalnya menghasilkan limbah dan gas berbahaya lainnya. Kemudian terkait
dengan era karbon sekarang ini, sistem kontrol manajemen sebuah perusahaan seharusnya
didesain untuk menopang paradigma carbonaccounting. Dalam hal ini, dua
aspek penting SKM adalah, pertama, perilaku manajemen dalam mencapai target
efisiensi karbon. Tanpa perubahan perilaku manajemen dalam level personal,
sistem perusahaan tidak akan mampu menopang gagasan paradigma carbonaccounting.
Kedua, sistem informasi reward dan punishment di lingkungan manajemen
dalam mencapai efisiensi karbon. Ketersediaan sistem tersebut akan
memicu akuntabilitas manajerial dalam efisiensi karbon, sebagai bagian dari
tanggungjawan social perusahaan dalam menyelamatkan dunia dari ancaman global
warming.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Jakfar S,
Lisa Kartika Sari, Carbonaccounting : Implikasi
Strategis Perekayasaan Akuntansi
Manajemen,
Reporter Aji, Perusahaan Penghasil Limbah Jadi ‘ATM’
BPLH. Document available on the Internet: http://beritabekasi.co
Zoe Harkin , Gary Bull, (2000), Towards Developing a Comprehensive Carbon Accounting Framework
for Forest in British Colombia, Lexen Burg, Austria. Document available on the Internet: http://webarchive.iiasa.ac.at/Publications/Documents/IR-99-025.pdf
Matthias
Jonas, Sten Nilsson ,etc, (1999), Full Carbon Accounting and the
Kyoto Protocol : A Systems- Analytical View, Lexen Burg, Austria. Document
available on the Internet: http://webarchive.iiasa.ac.at/Publications/Documents/IR-00-046.pdf
0 comments:
Post a Comment