Aku Calon Perajut
Kata
Cerpen Oleh : Nasrul Hadi , 22 Maret 2013
Saya datang dengan semangat berguncang, tersimpan berjuta harapan
setelah mengikuti pelatihan ini. Pelatihan jurnalistik namanya, ntah agenda
rutin HMI Fakulatas Adab ataupun bukan, saya dan kawan dikumpulkan dalam sebuah
acara.
Berawal setelah aku terima pesan singkat yang masuk kedalam
memori telepon genggamku. Tertulis sebuah kata instruksi “silahkan datang ke
secretariat KAHMI hari Rabu malam ada pelatihan Jurnalistik”. Aku tahu di KAHMI
banyak mereka yang senerioritas dan kanda-kanda di organisasi hijau hitam.
Dalam benakku terpikir “wah, keren pelatihan yang aku harap-harapkan ternyata
akan segera dilaksanakan, dan aku diundang?” hatiku gembira, senyum manis juga
terasa dibibir manis ini.
Hari rabu sore
sehabis Ashar, aku tak sempat menikamati sunset yang biasa setia ku tunggu
dipantai yang berjarak 6 KM dari pusat kota Banda Aceh, yaitu pantai Ulee Lheu.
Sore itu aku persiapkan diri atas apa yang mereka instruksikan. Mereka memang
menyuruh untuk segera melengakpi perlengkapan sendiri seperti sabun mandi dan
banyak lagi persiapan lainnya. Tapi dalam pikiranku mental yang harus aku
persiapkan. Semangat yang bagaikan semangat juang empat lima tak boleh padam.
Ini harapanku jauh-jauh hari, ini keinginanku dari dulu, aku ingin menjadi
seorang penulis handal . Toh ada kesempatan belajar yang malah digratiskan,
janganlah ku sia-siakan.
Namun pikiran lain juga sempat memngahampiri kepala. Aku
tujuan merantau ke kuta raja ini untuk Kuliah. Bila ku ikuti acara ini aku
terpaksa libur dari dari capainku menuntut ilmu di perguruann tinggi jantong
rakyat aceh .Apalagi acara ini selama 4 hari lamanya, juga ada quis.
Disela-sela persiapanku menuju ke kantor KAHMI yang terletak
tak berjauhan dari Hotel Hermes, sempat dilema merasuki benak pikiranku. Aku
galu ketika itu, sedangkan keputusan harus segera aku putuskan. “ikut atau
tidak iut atau tidak” kataku dengan ucapan dalam kebingungan sambil tanganku
memegang kepalaku.
Kuliah itu penting, dan pelatihan jurnalistikini juga
penting. Aku tak bisa kuliah, bisa saja belajar sama kerabatku besok. Tapi
pelatihan iini kesempatan besar bagiku. Mereka penulis handal bakal mengisi
acara ini.
Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti acara yang dilaksankan
HMI komisariat fakultas Adab. Seusai shalat magrib dirumah dan kemudian aku
beli makan. Ketika mnikmati makan malam itu sempat terpikir quis yang akan
diadakan besok. Kemudian, Aku hiraukan pikiran ini karena kutelah kuputuskan
apa yang akan ku lakukan
Kustarkan motor bebekku, aku kendrai menuju tempat yang aku tuju.
Dalam banyak harapan dalam perjalananku. Langit yang masih meninggalkan
kemerahannya angin malam sedikitnya telah kurasa, aku gegaskan selruh jiwa
menuju kantor alumni aktifis HMI itu.
Sesampai ku disana Sebuah spanduk terpampang di atas pintu
masuk sekreatriat itu. “Satu pena untuk Perubahan “ tertulis menjdi tema di acara
itu. Sejumlah harapan dan cita-cita harus bisa kuwujudkan usai mengikuti acara
ini pikirku. Banyak ternyata yang juga yang mengikuti acara ini. Kawan baru
bisa kukenal, mereka hadir dari berbagai jurusan.
Pembukaan acara juga segera dibuka, panitia sudah
bersiap-siap. Kami duduk manis didepan mereka yang hadir, yaitu mereka para
ahli dalam menulis. Acara pun dibuka oleh said Munir, sosok alumni HMI yang
juga berjiwa penulis.
Seusai acara pembukaan. Kewenangan dan kesempatan diberikan
kepada Ampuh devayan. Kaliah tauhu siapa dia? Dia yang telah menulisa ratusan
karya, dia penulis puisi, dia penulis opini, dia cerpenis. Bagi sebagian orang
namanya tak asaing lagi. Nama ampuh Devayan sering terpampang dikoran local
maupun nasional.
Harapanku untuk menjadi cerpenis, penulis puisi, juga
penulis opini semakin memara. Dalam kesynyian malam hanya kata dan motivasi
Kanda Ampuh yang terdengar ditelinga saya dan kawan-kawan. Ampuh memang
memiliki cara ampuh untuk memotivasi kami pikirku.
Di atas kursi roda dia memaparkan apa saja kiat menulis.
“menulis itu seperti air” kata putra
Simeulue Ampuh Devayan. Semangat dia menjadikan anak didiknya semakin
malam semakin terasa. Tak peduli rasa sakit yang dia rasakan dengan rokok yang
tak lepas dari mulutnya. Dia terus mengukir kami menjadi perajut kata.
0 comments:
Post a Comment